Sejatinya Kita

22.45 WIB

  Sebenarnya ini waktuku beranjak tidur.
Tapi entah mengapa tiba-tiba pikiran melayang ke tempat indah dekat Gunung Lawu sana.


Aku teringat cerita seorang bapak di sana. Yang aku lihat begitu menikmati hidup di masa tuanya. Setiap pagi, berkaos santai dan celana kulot, senyum dan menyapa ramah pada tamu-tamu yang menginap di rumahnya, sebuah homestay di pedesaan yang sejuk.
Siapa sangka dulu dia beberapa waktu bergelut dengan riuhnya ibukota, bekerja menjadi pimpinan perusahaan. Berkarir berpindah kota, hingga hidup bergelimang harta. Bahkan berteman dengan narkoba. Sampai berujung pada runtuhnya mahligai rumah tangga.
Hidup mungkin tak selamanya indah.
Tapi saat bapak ini bangkit, memulai lagi. Membuang sisa cerita lalunya, bersama pasangan baru, pergi dari kota besar dan berpindah ke pedesaan sunyi setelah menjual seluruh asetnya di kota. Dan ternyata, di pedesaan sepi inilah dia menemukan kedamaian.
Apakah boleh disamakan dengan hariku, atau hari-hari orang lain, yang terkadang jenuh dan ingin lari ke tempat sepi? Tempat yang menjanjikan kedamaian masa lalu, saat semua masih murni.
Alam dengan semua pohon hijau, air jernih dan segalanya
 Manusia di masa lalu, dengan segala perilaku yang terjaga, ramah dan punya rasa peduli.
Saat berada di tempat seperti itu, hati yang paling dalam menyadari bahwa duniawi itu tak ada apa-apanya. Semua yang dimiliki segala kemewahan harta, kekuasaan, kecantikan, tak ada artinya.
Sangat berbeda saat kita berada di tempat yang sibuk, hingar bingar, riuh dengan segala aktivitas duniawi manusia. Secara sadar atau tidak, kita menerima godaan yang menarik, menggiurkan. Harta, kekuasaan, kecantikan, yang semakin hari semakin beragam dan bertambah daya pikatnya. Siapa kuasa menolaknya, saat semua orang mengakui kebermanfaatannya dalam hidup di jaman kekinian. Dimana sampul, kemasan, penampilan, menjadi hal utama yang diperhatikan.
Aku...berada di sudut kota yang ramai. Tapi rasanya, setiap orang bisa mengambil celah, mencari waktu untuk menghadirkan sejenak kesunyian dalam putaran kesibukannya. Hanya untuk menarik nafas dalam-dalam dan memaknai untuk apa sejatinya manusia diberi nyawa dan waktu di dunia.
Dan malam ini, denyut kehidupan kota terus bergaung, namun semoga...kita sempat mencari detik untuk sejenak sunyi...dan berterimakasih pada Allah, bahwa kita masih diberi kesadaran untuk tidak hanyut dan larut dalam gemerlap cahaya duniawi.






Posting Komentar

1 Komentar