Yogyakarta, 16 Juni 2021
Hujan di Bulan Juni malam ini....
Mengingatkan saya pada hujan yang sama tahun lalu, tahun 2020.
Kala itu, masih awal kita kena pandemi. Semua serba ketat. Saya ingat betul betapa masker harus selalu dipakai, bagaimana saya harus memastikan anak-anak berada di dalam rumah, tidak kemana-mana. Bahkan saat saya rindu orang tua dan ingin pulang ke rumah bapak untuk sekedar mengunjungi beliau, bapak mengatakan "Rasah sik, nok. Kahanan isih kaya ngene. Iki diperpanjang (masa tanggap daruratnya)." Yang intinya saya nggak usah kemana-mana dulu.
Foto: Pixabay |
Iya. Patuh. Kami memang tertib memgikuti himbauan pemerintah. Masih jelas teringat bagaimana dulu saat awal covid-19 ini ada, tenaga kesehatan dan pemerintah dengan kuat menyerukan untuk kita agar di rumah saja, Work From Home, sekolah pun dari rumah dan sebagainya. Himbauan agar sangat menjaga diri dan keluarga agar tidak terpapar virus berbahaya itu.
Dampak Pandemi
Lalu lambat laun pandemi ini memukul berbagai sektor kehidupan. Satu per satu anak kos di depan rumah pamit pulang kampung, karena dirumahkan. Para karyawan yang masih bekerja pun cukup terbatas ruang geraknya karena bekerja dari rumah.
Anak-anak sekolah pun harus menyesuaikan dengan cara yang baru, yaitu pembelajaran jarak jauh. Dengan berbagai tantangannya, termasuk godaan bermain gadget, keterbatasan kuota, kebosanan dan lain-lain.
Dan banyak lagi, selain pemutusan hubungan kerja, pandemi juga menimbulkan ketidakpastian kapan akan berakhir, serta timbul kerugian di berbagai sektor.
Maka kala itu, rasanya kesal saat ada yang abai dan tidak peduli dengan adanya virus ini.
Gotong Royong Warga Dalam Menghadapi pandemi.
Tetapi toh situasi memang seperti ini kan? Awal pandemi kala itu, di sekitar tempat tinggal saya ada gerakan untuk saling membantu dalam mencukupi kebutuhan pokok. Setiap Jumat Subuh, warga yang berkeinginan ikut serta, datang ke sebuah tempat yang sudah ditentukan, dengan membawa kantong berisi sayuran, minyak, gula, atau apapun yang ingin mereka sumbangkan untuk sama-sama meringankan tetangga. Lalu mulai jam 6 pagi, warga atau siapapun yang membutuhkannya atau ingin mengambilnya dipersilahkan datang ke tempat tersebut. Tentu saja dengan penjagaan dan antisipasi terkait protokol kesehatan.
Bahan makanan dari warga untuk warga (dok.pri) |
Lalu kemudian virus terasa makin mendekat, saat ada yang terkena covid di sekitar rumah. Dan melalukan isolasi mandiri di rumahnya. Dan itu diinformasikan di grup RT, lengkap dengan kalimat bahwa itu bukan aib, tapi ujian dan himbauan untuk saling membantu dan mendoakan. Lalu semua bergerak. Mengucilkan? Tidak. Tentu saja tidak. Tetapi bersama membantu. Siapa yang ingin memberikan sesuatu untuk dia, bisa dikumpulkan melalui perwakilan yang sudah ditunjuk. Apakah makanan, kebutuhan pokok dan lain-lain.
Begitulah, ada kesejukan karena semangat gotong royong ini ada di tengah situasi sulit, meski di lingkup yang kecil.
Di satu sisi, pandemi juga mengajarkan untuk kita lebih peduli.
Pun ketika tiba-tiba banyak yang mendadak berjualan online. Saya tidak keberatan untuk membeli di teman ataupun tetangga. Ketimbang harus keluar jauh dan membeli pada orang lain. Karena kita semua tahu, pandemi juga menghantam sisi ekonomi dan semua orang harus berjuang untuk bertahan.
Dan tahun 2021 ini adalah tahun kedua kita, bahkan dunia, semua berjuang menghadapi pandemi global Covid-19. Lebih dari setahun pula kita berjuang membendung segala dampaknya.
Mungkin kita juga sudah bosan bertanya, kapan semua ini berakhir, disaat data menunjukkan terus adanya peningkatan orang yang terkena Covid-19.
Data penambahan Covid-19 (foto: twitter @BNPB_Indonesia) |
Ada yang tetap bisa diandalkan untuk menghadapi situasi ini, gotong royong, bersatu menghadapi pandemi, bersama-sama, selalu optimis agar cepat pulih kesehatan dan membangkitkan ekonomi.
Di awal pandemi dulu, hingga sekarang, yang mungkin sudah menjadi kenormalan baru, semangat gotong royong itu tetap terlihat, namun tentunya perlu dikuatkan lagi.
Walau terbatas. Tapi bersyukur ada teknologi. Jadi semangat gotong royong itupun tidak hanya di dunia nyata, tapi juga merambah melalui ranah digital.
Cukup sering saya menemukan semangat itu. Saat mengikuti berbagai acara secara virtual. Dalam dunia usaha, beberapa waktu lalu ada acara yang membahas mengenai momentum untuk semakin melek teknologi, bahkan seorang pengusaha fashion berbagi tips cara bagaimana baju lama tetap fashionable dipakai saat Lebaran, di lain acara, banyak juga yang saling berbagi cara, berbagi semangat agar tetap berdaya di situasi seperti sekarang ini.
Di dunia parenting, banyak pula aktivitas virtual mengenai bagaimana para orangtua terus dapat membersamai anak-anaknya dalam situasi pandemi. Dan berbagai variasi parenting agar anak pun bisa melalui masa pandemi ini.
Di dunia pendidikan, dan di bidang lainnya pun saya pikir sama.
Semangat gotong royong itu ada, dengan berbagai variasinya.
Iya, pandemi membatasi ruang gerak, tapi bersyukur ada teknologi, dan munculnya berbagai kreatifitas untuk membantu bertahan dan bersama-sama berjuang, bergotong-royong baik di dunia nyata hingga maya.
Apalagi kita punya Pancasila dan memang harus kembali membumikan nilai-nilai Pancasila, kembali menanamkan ideologi Pancasila dengan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Semangat gotong royong ini pun sebagai salah satu bentuk penerapan nilai Pancasila kan? Yaitu sila ke-3 Persatuan Indonesia. Semoga hal ini dapat membuat kita makin tangguh menghadapi pamdemi. Sehingga perekonomian, kehidupan sosial dan yang lainnya dapat semakin membaik.
Dan satu hal yang juga sangat penting dalam gotong royong ini adalah kedisiplinan kita dalam menerapkan protokol kesehatan, serta mendukung kebijakan pemerintah.
Tulisan ini diikutsertakan kompetisi dalam rangka memperingati Bulan Pancasila dengan tema "Keistimewaan Pancasila: Toleransi, Berbagi, Gotong Royong yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY.
2 Komentar
gotong royong, kerja bakti merupakan budaya yang harus dijaga kelestariannya
BalasHapusSetuju. Moga tak tergilas jaman ya :)
Hapus